Criticize My Criticism

Posted: 11 October 2015 in Uncategorized

self-criticismSeringkali saya mendengar seorang rohaniwan memberikan kritikan terhadap sebuah institusi rohani (gereja) tentang “apa yang sedang terjadi” pada atau di dalam gereja itu. Kritikan itu tidak jarang disampaikan di atas mimbar. Mungkin maksudnya sebagai sebuah ilustrasi, tetapi hal itu tetaplah sebuah kritikan.

Kritikan yang baru-baru ini saya dengar adalah kritikan tentang sebuah gereja yang sedang berkembang, yang sedang jadi “trend,” yang sedang “happening,” atau apapun itu sebutannya.

Kritik yang saya dengar adalah: “saya tidak terlalu tertarik dengan gereja seperti itu, karena cara pandang Tuhan selalu berbeda dari cara pandang kita manusia.” Ia memberikan contoh Jemaat di Sardis dalam kitab Wahyu yang digambarkan sebagai Jemaat yang hidup, namun mati (interpretasinya: gereja itu dilihat oleh gereja lain, atau mungkin jemaat itu sendiri sebagai gereja yang hidup atau berkembang, tetapi di hadapan Tuhan: gereja itu mati). Juga kisah Daud, seorang remaja yang kemerah-merahan, namun dipilih menjadi Raja Israel oleh Tuhan, padahal kakak-kakaknya yang lain lebih memenuhi “kriteria fisik” seorang calon Raja. Kisah yang lainnya untuk memperkuat argumentasinya adalah kisah seorang janda miskin yang memberikan persembahan 2 peser (nilai uang paling kecil jaman itu), namun Yesus berkata bahwa persembahan janda itulah yang paling besar.

Saya pikir kalimat ini dan argumentasinya tidaklah salah. Tapi kalimat ini membuat saya berpikir (lebih tepatnya memberikan “kritikan”):

What if … Roh Tuhan memang sedang bekerja di dalam dan melalui gereja yang sedang berkembang itu? Kisah Alkitab juga meneguhkan hal ini bahwa pada waktu Tuhan berkenan kepada Daud, maka Tuhan membuat ia dapat mengalahkan Goliat, Jendral perang Raksasa bangsa Filistin, dapat menjadi raja Israel dan Tuhan melimpahinya dengan kekayaan dan kemakmuran di dalam Kerajaannya. Kisah yang lain dan tidak kalah pentingnya adalah kisah Jemaat mula-mula, yang karena Tuhan berkenan maka jumlah mereka semakin bertambah banyak. Artinya ternyata Alkitab juga menegaskan bahwa perkenanan Tuhan dapat dilihat melalui “kesuksesan” dan pertumbuhan atau pertambahan jumlah.

What if….???

Maybe this is only my muse… But I feel that It’s not really right to use the pulpit as the place to say OUR criticism or judgement (I am also talking to myself).

Tetapi ketika saya berpikir (memberikan kritikan) terhadap khotbah yang berisi kalimat kritikan itu, saya juga berpikir di dalam hati saya (memberikan “kritikan” terhadap kritikan yang saya pikirkan):

What if … Roh Tuhan juga sedang bekerja melalui khotbah yang di dalamnya berisikan kritikan terhadap gereja yang sedang berkembang itu..???

What if …???

I think It’s not my part to answer this question… Whose part…??? idk….

Leave a comment