Archive for the ‘Culture-conditioned’ Category

I hope that there was a place that I could explore those thoughts and those contradictions in an intelligent way that’s still within the christian faith…. It’s pilgrimage. We are still on the road. It’s never going to end – Martin Scorsese

mv5bmjy3otk0nja2nv5bml5banbnxkftztgwntg3mjc2mdi-_v1_sy1000_cr006401000_al_

Pernyataan ini dikatakan oleh Martin Scorsese dalam wawancaranya berkaitan dengan Film “Silence” yang disutradainya. Film yang dipublish di bulan Desember 2016 yang lalu, namun baru tayang di Bioskop Indonesia pada bulan Maret 2017 ini. Setelah menonton ini, saya susah move on dari film ini. Saya terus memikirkannya dan mengingat sejumlah unanswered problems dalam film ini. So, here’s my muse about this movie… (better you watch this movie with friends, discuss with them, then come to read this post).

Film ini diangkat dari sebuah Novel karangan Novelist Jepang, Shusaku Endo, tentang seorang Misionaris Jesuit (salah satu ordo dalam Gereja Katolik) di Abad ke-17, Rodriguez, yang melakukan perjalanan ke Jepang untuk mencari Mentornya yang hilang dan diduga telah meninggalkan imannya, Ferreira. Pencarian ini tidaklah mudah, sebab pada waktu itu Jepang memasuki sebuah periode isolasi dan penganiayaan terhadap orang Kristen (dalam catatan sejarah, dari tahun 1614-1640 diperkirakan 5000-6000 orang Kristen dibunuh di Jepang), karena Jepang menanggap bahwa Kekristenan adalah senjata dari penjajahan bangsa Barat, khususnya Portugis pada waktu itu. Otoritas Jepang memaksa orang Kristen Jepang menyangkal imannya, karena bagi mereka menjadi Kristen merupakan jalan menuju kehancuran budaya, kepercayaan dan identitas Jepang. Ketika identitas ke-Jepang-an mereka hancur, maka sama saja dengan memusnahkan Jepang. Itulah sebabnya, Otoritas Jepang dengan kekejamannya ingin menghapuskan Kekristenan yang berkembang cukup subur pada waktu itu. Mereka membunuh dengan sadis bagi orang-orang Kristen yang tidak mau menyangkal imannya (dengan cara menginjak gambar Yesus). Mereka meneteskan air panas secara perlahan, membakar hidup-hidup, menyalibkan di pantai sampai mati, menghanyutkan orang Kristen hidup-hidup di laut, memancung kepala orang Kristen, bahkan menggantung orang Kristen secara terbalik.

Akan tetapi, ketika mereka ingin membuat para Misionaris menyangkal imannya, mereka tidak langsung membunuh mereka ketika mereka menolak menyangkal. Mereka justru menghadirkan penderitaan yang paling menyakitkan, yaitu dengan membuat mereka menyaksikan penderitaan orang-orang Kristen, baik yang menyangkal maupun yang tidak menyangkal imannya. Mereka membiarkan Misionaris yang gagal ini tetap hidup dan menghidupi kebudayaan dan kepercayaan Jepang. Mereka memberikan identitas Jepang kepada para Misionaris tersebut. Ferriera dan Rodriguez, kedua Pastur yang gagal ini menjadi orang Jepang, menikahi wanita Jepang dan hidup dengan tradisi Jepang, bahkan sampai mereka mati. Dengan begitu, Otoritas Jepang berpikir mereka dapat menghapus Kekristenan di Jepang.

Film ini bukanlah sebuah film “easy-watching.” Di sepanjang film ini, Scorsese tidak memberikan jawaban dari problem yang ia munculkan. Namun, hal inilah yang menjadikan film ini brilliant, karena problem yang tanpa jawaban ini memberikan kesan Silence yang dalam. Ketika tokoh-tokoh dalam film ini bertanya-tanya kepada Tuhan, namun seolah Tuhan tetap Silence, maka Scorsese menyempurnakannya dengan menghadirkan kesan Silence saat kita menginginkan jawaban dari problem yang ia munculkan. Scorsese mengakhiri film ini dengan kesan Ambiguous yang dalam. Seolah-olah ia memberikan kebebasan bagi penontonnya untuk memberikan respon masing-masing, sehingga tidaklah salah jika film ini dikategorikan sebagai sebuah Reader-Response Movie. Scorsese membiarkan film ini Silence dan menjadi perenungan bagi orang-orang yang menontonnya.

Di saat Cinema modern menghadirkan film-film bergenre Heroic yang selalu menuntun penonton untuk memiliki kesan “Good guys always win over the bad guys.” Film ini sebaliknya menghadirkan sesuatu yang bertolak belakang. Tidak ada kemenangan yang dirayakan. Namun, teriakan, keraguan, keputusasaan, kelemahan, krisis dan penyangkalan, hal-hal inilah yang seolah-olah ingin dirangkul dan dirayakan di dalam film ini. Mungkin agak terkesan pesimistis, dan bagi sebagian orang yang selalu optimis, film ini mungkin tidak relevan. Tetapi ada keindahan di dalam kelemahan yang dirayakan di dalam film ini, yaitu the beauty of extended God’s Grace in believers’ weekness.

Rodriguez: “I pray but I’m lost. Am I just praying to silence?”

Jesus: “I suffered beside you, I was never silent.”

Ada 3 hal yang menarik bagi saya, yang juga sekaligus menjadi sebuah pertanyaan bagi iman Kristen:

Menginjak Gambar Yesus

Hal ini pasti akan ditanyakan oleh kita setelah menonton: Apakah orang yang dipaksa untuk menyangkal iman kepada Yesus dengan menginjak gambar Yesus akan diampuni atau diterima oleh Tuhan? Mengingat mereka akan mati jika mereka tidak menginjak gambar Yesus?

Film ini Silence ketika berhadapan dengan pertanyaan iman ini. Scorsese memberikan 2 pilihan kepada penonton. Kita dapat mengatakan bahwa orang tersebut pasti tidak akan diampuni, dan orang tersebut tidak akan diselamatkan, karena Yesus sendiri berkata: “Barangsiapa menyangkal Aku di depan manusia, Aku juga akan menyangkalnya di depan BapaKu yang di sorga” (Matius 10:33).

Scorsese dalam wawancaranya mengatakan bahwa orang Kristen Jepang yang mati di hukum karena menolak menyangkal iman mereka dengan tidak menginjak gambar Yesus adalah orang-orang Kristen yang menunjukkan tindakan iman yang extraordinary, dan kita tentu tersentuh dengan iman mereka sekaligus marah dengan perlakuan yang mereka terima. Mereka mengutip perkataan Tertulianus “Darah para martir adalah benih Injil.” Tetapi Scorsese juga dengan cerdik mempertanyakan apakah sesungguhnya mereka mati karena iman mereka kepada Yesus atau mereka mati supaya Misionaris yang menyebarkan agama Kristen tidak mati? Maka, di sini ia sedang memberikan pilihan kepada penonton apakah mereka ingin melihat bahwa tindakan martyr tersebut adalah sebuah pengorbanan iman kepada Kristus atau hanya bentuk loyalty kepada pemimpin agama.

Inqusitor Inoue berkata kepada Rodriguez: “The price for you glory is their suffering.”

Hal inilah yang pada akhirnya juga mengguncangkan iman Father Rodriguez, ia dipaksa untuk memilih,  apakah ia menginjak gambar Yesus dan diklaim oleh Jepang telah menyangkal imannya kepada Yesus ATAU ia menolaknya namun ia akan melihat kematian orang-orang Kristen yang sebenarnya sudah menyangkal Yesus dan bebas dari hukuman, tetapi tetap diperhadapkan dengan hukuman. Rodriguez diperhadapkan dengan pilihan yang sulit. Namun, muncullah sebuah pertanyaan, “Jika Yesus di sini, apakah Yesus akan menginjak gambar Yesus demi menyelamatkan orang-orang ini? Apakah Yesus akan “menyangkal imannya” untuk membuat orang-orang ini tetap hidup?”

Pertanyaan ini yang akhirnya membuat Rodriguez menginjak gambar Yesus. Tindakan ini dianggap oleh otoritas Jepang sebagai tindakan penyangkalan iman. Namun, sekali lagi Scorsese meninggalkan problem ini sebagai sesuatu yang open-ended, sebab di bagian akhir dari film ini ketika Rodriguez mati dan akan dibakar, Rodriguez masih memegang icon salib.

Pengampunan Bagi seorang yang Menyangkal iman

Pertanyaan kedua adalah berkaitan dengan tindakan Kichijiro, seorang Kristen Jepang yang digambarkan seperti Yudas yang menghianati Yesus. Ia menyangkali imannya dengan menginjak gambar Yesus, lalu meminta pengampunan, tetapi ketika diperhadapkan dengan pilihan menyangkal atau setia, maka ia tetap memilih menyangakali imannya. Lalu meminta pengampunan kembali. Seolah-olah Kichijiro melihat anugerah pengampunan Tuhan itu sebagai sesuatu yang murahan (cheap grace). Maka pertanyaannya: Apakah orang yang demikian diampuni atau diterima oleh Tuhan kembali?

Pengampunan dan Berkat yang berulang kali diberikan Father Rodriguez kepada Kichijiro seolah menunjukkan bahwa selalu ada tempat untuk orang yang mengaku berdosa dan meminta pengampunan, meskipun berulang kali. Namun, apakah dengan begitu tidak akan membuat Kasih dan Anugerah Tuhan menjadi sesuatu yang dapat dipermainkan dan murahan? Tetapi pertanyaan lain juga dapat ditanyakan, tidakkah selalu ada tempat bagi orang-orang yang lemah di dalam anugerah Tuhan?

Sekali lagi Scorsese memberikan pilihan kepada penonton untuk menjawab, apakah iman Kristen yang lemah itu memang pantas? Apakah iman Kristen memberikan tempat bagi seorang percaya untuk “fail and try our best”? Apakah Tuhan mau menerima orang yang memiliki iman yang demikian?

Saya tidak memiliki jawabannya, tetapi saya percaya satu hal:

“God’s grace is wider and larger and bigger and deeper and higher than what we can imagine, than our human judgment.”

Iman dan Injil yang Universal

pertanyaan terakhir yang membuat saya merenung adalah perdebatan yang terjadi antara Inquisitor Inoue dengan Rodriguez, apakah kebenaran Kristen itu universal sehingga dapat  berlaku baik itu di Portugis maupun di tanah Jepang atau tidak?

Inoue meyakini bahwa Kekristenan tidak dapat tumbuh di Jepang karena tanah Jepang berbeda, sedangkan Rodriguez bersikeras berkata bahwa Kekristenan pernah tumbuh subur, namun sekarang tidak lagi karena tanah itu sudah diracuni.

Akan tetapi, Scorsese membawa penonton untuk melihat bahwa lahan Jepang adalah “sebuah Rawa.” Misionaris datang menyebarkan iman Kristen namun tidak mau mencoba memahami kepercayaan, budaya dan identitas Jepang. Bahkan Father Ferreira sendiri berkata bahwa ada kemungkinan pada waktu itu orang Jepang memiliki iman Kristen yang sesat. Bagaimana mungkin Jepang dapat memahami iman Kristen yang benar, jika Misionaris Kristen tidak mencoba memahami cara berpikir, keyakinan dan budaya Jepang?

Iman Kristen adalah kebenaran universal yang berlaku di berbagai tempat dan zaman, namun implementasi dan penyerapan iman Kristen itu bersifat “culture-conditioned.”  Penulis keempat kitab Injil sendiri menggunakan cara berpikir, agenda, gaya bahasa, bahkan penuturan yang sesuai dengan budaya dan zamannya saat mereka ingin menjelaskan dan memaknai Stories of Jesus. Injil yang kita miliki adalah culture-conditioned texts.

Bahkan Leslie Newibin, seorang Teolog dan Misionaris yang pernah melayani di India pernah berkata:

“It is obviously true that we have no way to understanding the Bible except through the concepts and categories of thought with which our culture has eqquiped us through our whole intellectual formation from earliest childhood.”

Namun, secara umum, sama seperti kutipan di awal dari wawancara Scorsese, melalui film ini, ia seolah-olah ingin bertanya:

“Jika perjalanan iman itu sama seperti sebuah Pilgrimage, adakah tempat bagi keraguan, keputusasaan, ketakutan, kelemahan, kejatuhan, krisis dan bahkan kegagalan di dalam iman Kristen?”

Click here to watch the interview with Martin Scorsese by Fuller Studio.